Senin, 12 September 2011

Program Penyelenggaraan Otonomi Daerah sebagai Penanggulangan Bencana Konflik Sosial di Papua


Nama : Floranesia Lantang (170210100007)
Program Penyelenggaraan Otonomi Daerah sebagai Penanggulangan Bencana  Konflik Sosial di Papua
Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang mempunyai sejarah sosial berupa dinamika aspek kehidupan masyarakat aslinya. Konsep “desentralisasi” merupakan agenda publik yang dijadikan sebagai landasan konstektual dalam penyelenggaraan pemerintahan menggantikan politik sentralisasi.  Dalam Perdasus Penyelenggaraan Peradilan Adat di Papua , diungkapkan bahwa pemberian otonomi khusus bagi Provinsi Papua dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan,penegakan  supremasi hukum, penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) , percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua, dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan Provinsi lain.

Analisis konflik ini berfokus pada dinamika konflik dan masalah-masalah yang terjadi pada periode paska Otsus (Otonomi khusus) sesudah tahun 2001, di Papua. Kekayaan sosial, budaya dan sumber alam di Papua bertolak belakang dengan tingkat keamanan manusia. Papua telah sejak lama memiliki keluhan-keluhan sejak berintegrasinya dengan Negara Indonesia mulai dari perbedaan persepsi mengenai sejarah integrasi ke dalam Negara Indonesia, keterbelakangan yang terus terjadi dan kompleksitas rasa rendah diri yang diwarnai dengan pelanggaran hak asasi manusia yang merusak harkat martabat orang asli Papua. Kelahiran otsus pada tahun 2001 adalah sebuah titik balik di mana keluhan-keluhan penduduk asli Papua mulai dibuka dan diperhatikan. Otsus diharapkan untuk dapat memberikan tindakan yang pasti untuk melindungi hak-hak penduduk asli Papua dan melibatkan mereka secara aktif baik sebagai penerima manfaat dan pelaku pada perubahan sosial di Papua. Meskipun demikian, pelaksanaan otsus telah menghadapi pelbagai tantangan termasuk kurangnyan kepercayaan yang diperlihatkan oleh pemerintah pusat.
Periode paska otsus masih diwarnai dengan adanya keluhan-keluhan; perdamaian negatif, masalah-masalah yang berhubungan dengan perwakilan, kebijakankebijakan yang tidak sesuai dengan kebudayaan lokal, penggalian sumber daya alam yang tidak seimbang, pendekatan keamanan, rendahnya tingkat modal sosial, masyarakat anomie dalam perubahan sosial, polarisasi yang dapat memicu konflik, dan kesenjangan antar kelompok masyarakat.

Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua ,yang disahkan pada tanggal 21 November 2001 serta dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2001 Nomor 135 dan Tambahan Lembaran Negara tahun 2001 Nomor 4151 , patut dicatat sebagai suatu karya monumental hasil kemitraan Pusat dan Daerah. Beberapa keistimewaan yang dimiliki oleh Undang-undang Otsus ini ialah rancangan awal undang-undang tentang otonomi ini disusun oleh putra-putra terbaik Papua dalam berkonstribusi mengatur dan membangun  daerahnya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Muatan rancangan undang-undang otonomi dipandang mampu mengakomodasi berbagai aspirasi dan kepentingan masyarakat,khususnya orang asli Papua. Otonomi khusus bagi Provinsi Papua dapat berperan sebagai suatu kebijakan yang bernilai strategis dalam rangka peningkatan pelayanan (service), dan akselerasi pembangunan (development), serta pemberdayaan (empowerment) seluruh rakyat di Provinsi Papua terutama orang asli Papua[1].
Dalam studi tentang penyelesaian konflik disebut bahwa kebijakan pemberian otonomi kadang menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, otonomi dimaksudkan upaya untuk melakukan desentralisasi kekuasaan, mekanisme kompromi politik, secara administratif bertujuan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, dan juga sebagai mekanisme untuk menjaga integritas territorial sebuah negara. Namun, di sisi lain, otonomi juga berpotensi memperkuat identitas kelompok minoritas dan ini mendorong kelompok minoritas ini meningkatkan tuntutan mereka ke level yang lebih otonom atau bahkan ke level kemerdekaan.  Menurut studi Svante E Cornell (2002), otonomi bisa memperbesar konflik di sebuah kawasan dengan sejumlah cara. Dia mengulas, “There are two ways in which the institution of autonomous regions could be conceived of as conducive to secessionism: first of all by institutionalizing and promoting the separate identity of its titular group, thereby increasing group cohesion and the incentives of the group to act; and secondly by its political institutions that increase the capacity of the group to act." (Svante E Cornell (2002:15-16). [2]
Pembentukan suatu pemerintahan merupakan cita-cita Nasional untuk mencapai suatu tatanan keteraturan dan ketertiban bagi berlangsungnya kehidupan masyarakat. Pemerintah merupakan wakil rakyat yang harus berpihak pada rakyat .Osborne & Gaebler (1996:283) mengintrodusir bahwa ,Pemerintah perlu semakin didekatkan dengan masyarakat sehingga dapat member respon cepat terhadap kebutuhan masyarakat yang dinamis. Konsepsi ini didasari pada asumsi bahwa Pemerintah yang berada dalam jangkauan masyarakat, maka pelayanan yang diberikan menjadi cepat, responsive,akomodatif, inovatif, produktif, dan ekonomis.
Konflik sosial yang terjadi di Papua jika diteliti pada aspek psikologis, orang Papua lebih banyak dipengaruhi emosi daripada pikiran yang kritis dan sehat dalam menghadapi suatu permasalahan, sehingga tak segan-segan untuk melakukan tindakan anarkis dan separatis. Dalam aspek sosial, ketika mereka memberontak maka mereka akan mendapat dukungan dan pengaruh dari sukunya serta dalam suasana yang genting pada kepala suku itu harus berada ditengah-tengah sukunya itu. Aspek ekonomi dalam lingkungan sosial, yaitu lambatnya penyaluran barang ke Papua sehingga kesejahteraan warga Papua pun tak berjalan (1964-1966), padahal hal seperti ini tidak pernah terjadi selama Belanda menguasai Papua. Rasa tak memiliki Negara seutuhnya, ditambah lagi ketika terjadi pembunuhan warga Papua oleh TNI , merupakan kekecewaan Papua terhadap NKRI.
Suatu konsep elit politik yang terjadi di pemerintahan pusat menyebabkan rasa kurang percaya rakyat Papua atas keberadaannya di Indonesia. Konflik-konflik sosial memiliki kuantitas yang besar sebelum diberlakukannya otonomi daerah.  Dengan diberlakukannya otonomi daerah di Papua, maka akan terjadi kemajuan-kemajuan dalam berbagai bidang sehingga konflik sosial akan berkurang. Aktualisasi otonomi daerah member makna dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakat, yaitu :

1.Dimensi Politik
 Otonomi dalam tinjauan dimensi politik bertujuan untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat. Melalui otonomi ,maka masyarakat berkesempatan untuk menyalurkan inspirasi dan aspirasinya, serta terlibat dalam mendukung kebijaksaan pemerintah , dalam konteks lokal (Daerah), maupun nasional, sebagai bagian dari proses demokratisasi.

2. Dimensi Manajemen Pemerintahan
Dalam tinjauan dimensi manajemen pemerintahan, aktualisasi ekonomi bertujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan. Melalui otonomi, diharapkan pemerintah mampu melaksanakan fungsi pelayanan, pemberdayaan, dan pembangunan secara efektif dan efisien, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

3.Dimensi Kemasyarakatan
Ditinjau dari dimensi kemasyarakatan, maka otonomi bertujuan sebagai sarana partisipasi masyarakat serta menimbulkan kemandirian. Melalui otonomi, upaya pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan,sehingga masyarakat memiliki kemampuan untuk mandiri, dan memiliki daya saing.

4.Dimensi Ekonomi
            Ditinjau dari dimensi ekonomi, otonomi bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Melalui otonomi masyarakat dan Pemerintah Daerah akan memiliki peluang yang besar untuk melakukan ekstensifikasi, intensifikasi, dan diversifikasi sumber-sumber ekonomi dalam rangka peningkatan pendapatan.

5.Dimensi Budaya
            Ditinjau dari dimensi budaya, otonomi bertujuan untuk memberikan peluang yang besar bagi berkembangnya nilai budaya daerah. Melalui otonomi maka daerah dapat secara leluasa mengembangkan adat budaya daerahnya, yang diapresiasikan melalui berbagai hal, seperti : struktur pemerintahan terendah (Desa), model perencanaan pembangunan, dan sebagainya.[3]

Meskipun demikian, penyelenggaraan otonomi masih harus ditata secara baik, check and balances in local self government merupakan kunci keberhasilan suatu desentralisasi kewenangan dalam otonomi. Sesuai dengan Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999, dan tertuang dalam UU No.21 Tahun 2001, maka pemberlakuan otonomi akan membantu perkembangan Provinsi Papua serta mencegah konflik-konflik sosial yang pernah terjadi sebelumnya.


[1] Abud Musa’ad,Mohammad,2004,”Menguak Tabir Otonomi khusus Papua”,Bandung:ITB,hal.vii
[2] Ali, Rizwan 2010, “Otonomi dan Potensi Referendum di Papua”,diakses pada hari Selasa 16 Agustus 2011,pukul 15:03 ,( http://sampari.blogspot.com/2010/06/otonomi-dan-potensi-referendum-di-papua.html)
[3] Abud Musa’ad,Mohammad,2005 ,” Penguatan Otonomi Daerah :Dibalik Bayang-Bayang Ancaman Disintegrasi”,Jayapura:Penerbit Pusat Kajian Demokrasi.hal. 35-37

Selasa, 06 September 2011

REALISME dalam HI


REALISME
Realisme merupakan perspektif teori yang paling diakui dalam Hubungan Internasional.Dalam realisme, negara merupakan aktor yang paling berdaulat dan berkuasa. Pada masa ini, HI lebih memfokuskan pada isu peperangan dan perdamaian(war and peace).Subjek “negara” merupakan pemegang kekuasaan yang dominan “legitimate violence dominator” , yang dapat menggunakan kekerasan secara absah karena berhak mengarahkan kekuatan militer serta kehakiman ntuk menegakkan keamanan dan ketertiban. Negara juga merupakan “pemilik modal yang berdaulat” (sovereign entrepreneur) karena negara berdaulat atas wilayah tertentu termasuk berhak untuk mengelola segala macam asset kekayaan alam dan mineral yang ada diwilayah tersebut
Inti dari realisme adalah sentralitas negara. Negara-negara dan hubungan-hubungan antar negara merupakan tema yang sangat definitif dalam subjek HI. Ciri utama negara yaitu memiliki wilayah yang jelas, sebuah pemerintahan yang diberi otoritas kedaulatan ,pelaksanaan kedaulatan terhadap rakyat dan adanya pengakuan dari negara lain. Tema pertama dalam realisme adalah kedaulatan. Ada dua jenis kedaulatan yang berkaitan dengan negara: kedaulatan internal berarti penyelenggaraan otoritas di dalam sebuah wilayah tertentu dan terhadap orang-orang tertentu; sementara itu , kedaulatan eksternal meliputi pengakuan dari negara-negara lain sebagai pihak yang sah yang berhak bertindak bebas di dalam urusan-urusan internasional, yakni misalnya untuk membuat aliansi-aliansi, menyatakan perang dan sebagainya.
Tema kedua realism dalam hubungan internasional adalah kekuasaan. Kekuasaan pada dasarnya bisa dianggap sebagai konsep persaingan, yakni, sesuatu yang atasnya terdapat berbagai ketidaksepakatan mendasar. Lebih jauh, kekuasaaan bisa disama artikan dengan kata otoritas, pengaruh dan paksaan. Realisme banyak berbicara mengenai konsep kekuasaan dalam hubungan internasional. Bagi realism, esensi kekuasaan adalah kemampuan untuk mengubah tingkah laku/untuk mendominasi. Beberapa kaum realis memaknai kekuasaan dalam istilah zero-zum, yaitu situasi yang di dalamnya kemenangan yang diperoleh pihak tertentu merupakan kekalahan bagi pihak lain.
Penganut realisme melihat kapabilitas militer sebagai esensi kekuasaan dengan alasan-alasan yang sangat jelas. Kapabilitas untuk bertindak secara militer memberikan negara-negara kemampuan untuk menangkal serangan terhadap mereka, dengan semikian, menjamin keamanan mereka. Kemampuan semacam ini juga memungkinkan mereka untuk melancarkan serangan terhadap pihak-pihak lain untuk tujuan-tujuan tertentu. Kekuasaan merupakan tujuan dalam dirinya sendiri (end in itself) maupun sebagai alat untuk mencapai tujuan (means to an end), akan  menahan serangan dari pihak luar atau memberikan kemampuan mengakuisisi wilayah di luar negeri.[1]

Realisme menganggap,bahwa konsep utamanya tentang kepentingan yang ditegaskan sebagai kekuasaan merupakan kategori objektif yang berlaku secara universal, tetapi tidak member sifat pada konsep itu dengan arti yang sudah ditentukan secara definitif . Pernyataan mengenai kepentingan dimuat oleh George Washington di dalam prinsip umum pemerintahan:
Pengetahuan yang tidak banyak tentang hakikat manusia akan meyakinkan kita, bahwa pada bagian yang jauh lebih besar dari kemanusiaan , kepentingan merupakan dasar yang menentukan , dan bahwa, ssetiap orang kurang lebih di bawah pengaruhnya. Motof-motof baik masyarakat untuk sementara atau dalam keadaan tertentu , dapat menekan individu untuk mematuhi tindakan yang semata-mata tanpa pamrih; akan tetapi mereka sendiri tidak cukup menghasilkan keselarasan yang dapat bertahan terhadap ketentuan dan kewajiban tugas sosial yang murni. Tidak banyak individu yang terus menerus mampu mengorbankan semua pandangan, dan kepentingan atau keuntungan pribadi , demi kebaikan bersama.Sia-sia untuk mengadakan seruan terhadap keburukan hakikat manusia demi kepentingan ini; demikianlah kenyataannya, pengalaman setiap zaman dan bangsa sudah membuktikannya dan kita, sebagian besar, harus melakukan perubahan pada keadaan jasmani manusia, sebelum kita dapat melakukan sebaliknya. Tidak ada lembaga yang dapat berhasil, kalau tidak dibangun atas kebenaran yang berdasarkan perkiraan dari kaidah-kaidah tersebut.[2]

Ide dan asumsi dasar kaum realis adalah:
1.Pandangan pesimis atas sifat manusia
2.Keyakinan bahwa hubungan internasional pada dasarnya konfliktual dan bahwa konflik   internasional pada akhirnya diselesaikan melalui perang
3.Menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara.
4. Skeptisisme dasar bahwa terdapat kemajuan dalam politik internasional seperti yang terjadi dalam kehidupan politik domestik[3]
Point-point penting perspektif realis adalah:
1.Negara berdaulat merupakan actor kunci  dalam hubungan internasional
2. Negara-negara dimotivasi oleh sebuah dorongan untuk kekuasaan serta mengejar ‘kepentingan nasional’
3.Masalah utama dalam hubungan internasional adalah kondisi anarki yang berarti tiadanya sebuah otoritas kedaulatan pusat untuk mengatur berbagai hubungan diantara negara-negara.
4.Niat agresif dari berbagai negara , ditambah dengan tidak adanya pemerintah dunia , yang berarti bahwa konflik merupakan realitas yang selalu ada dalam hubungan internasional.
5.Sebuah persamaan mengenai tatanan dan keamanan bisa dipelihara dengan membentuk aliansi-aliansi antar negara yang mencegah satu negara manapun untuk menjadi adikuasa dan , sehingga menjadi ancaman bagi perdamaian dan keamanan bagi negara-negara lainnya;
6.Institusi- institusi dan hukum internasional memainkan peran penting dalam hubungan internasional, tetapi hanya bisa efektif jika didukung oleh kekuatan atau sanksi efektif.[4]
Aktor-aktor Realisme antara lain ialah Thucydides, Machiavelli, Morgenthau, Rousseau, Waltz, Mearsheimer, Zakaria, Von Clausewitz,dan lain-lain.


Sejarah Singkat dan Akar Realisme menurut Thucydides

Arahan dan asumsi-asumsi dasar tradisi pemikiran realis sedikitnya datang dari beberapa tulisan Thucydides, terutama Peloponnesians War, yakni peperangan antara negara-negara Kota Yunani ,yaitu Athena dan Sparta. Thucydides menggunakan perang untuk menunjukkan bagaimana logika politik kekuasaan (pengejaran atas kekuasaan dan kepentingan nasional) lebih menandai hubungan dan konflik antar negara daripada kerjasama atau tindakan yang diarahkan oleh prinsip-prinsip yang lebih bermoral.
Thucydides, an Athenian, wrote the history of the war between the Peloponnesians and the Athenians, beginning at the moment that it broke out, and believing that it would be a great war and more worthy of relation than any that had preceded it. This belief was not without its grounds. The preparations of both the combatants were in every department in the last state of perfection; and he could see the rest of the Hellenic race taking sides in the quarrel; those who delayed doing so at once having it in contemplation. Indeed this was the greatest movement yet known in history, not only of the Hellenes, but of a large part of the barbarian world- I had almost said of mankind. For though the events of remote antiquity, and even those that more immediately preceded the war, could not from lapse of time be clearly ascertained, yet the evidences which an inquiry carried as far back as was practicable leads me to trust, all point to the conclusion that there was nothing on a great scale, either in war or in other matters.[5]
Dalam bukunya “The History of Pelopponesians War”,Thucydides menjelaskan bagaimana asal mula terjadinya perang antara Athena dan Sparta. Negara-negara kota yang berada dalam wilayah Athena dan Sparta melakukan peperangan, dimulai dari saling membunuh terhadap penguasa kota-kota di Peloponesse. Penyebab Perang ,”The Affair of Epidamnus - The Affair of Potidaea”. Dalam bukunya, Thucydides membuat kisah perang dari tahun pertama, yaitu:
1.Awal Perang Peloponnesia - Invasi Pertama Attica - Orasi Pemakaman dari Pericles.
2 Perang Tahun kedua - The Athena - Posisi dan kebijakan Pericles - Kejatuhan Potidaea.
 3. Perang tahun keempat dan kelima- Pemberontakan dari Mitylene. - Trial dan Pelaksanaan Plataeans - Revolusi Corcyraean
4. Perang tahun ketujuh - Pekerjaan Pylos - Tentara Spartan menyerah di Sphacteria
5.Tahun ketujuh dan kedelapan dari Perang - Akhir dari Revolusi Corcyraean - Perdamaian dari Gela - Penangkapan Nisaea
6. Perang tahun kesepuluh - Kematian Cleon dan Brasidas - Perdamaian Nicias
7. Perang tahun ketujuhbelas - Kampanye Sisilia-Urusan Hermae - Ekspedisi keberangkatan
8. Perang tahun ketujuhbelas - Pihak di Syracuse - Cerita Harmodius dan Aristogiton - Disgrace of Alcibiades dari Harmodius dan Aristogiton - aib dari Alcibiades
9. Perang tahun kedelapanbelas dan Sembilanbelas  - Kedatangan dari Gylippus di Syracuse - Fortifikasi Decelea - Keberhasilan dari Syracusans
10. Perang tahun kesembilanbelas- Kedatangan Demosthenes- Kekalahan dari Atena di Epipolae - Folly dan Obstinancy dari Nicias Nicias
11. Perang tahun kesembilanbelas dan duapuluh- Pemberontakan dari Ionia - Intervensi of Persia - Perang di Ionia
12. Perang tahun keduapuluh- intrik dari  Alcibiades - Penarikan Subsidi Persia  - Coup oligarki d'Etat di Athena - Patriotisme Angkatan Darat di Samos Samos[6]
Negara mana yang ingin ditindas oleh kekuasaan asing? Atau siapa yang ingin miliknya dirampok dengan tidak adil? Namun, apakah ada satu negara saja yang tidak menindas negara tetangganya?,Atau , dimana di dunia ini akan dijumpai orang yang tidak merampok milik orang lain? Di mana sebenarnya?*[7]

Thucydides menjelaskan bahwa pada awalnya, memang negara telah mengalami perang, sebelum adanya PD I dan PD II, telah ada negara-negara yang melakukan perang sebelumnya, karena adanya ‘kepentingan nasional’ yang menuntut negara melakukan apa saja untuk mendapatnkan apa yang diinginkan.



[1] Jill Steans & Llyod Pettiford,2009,”Hubungan Internasional:Perspektif dan Tema;Pustaka Pelajar,hal.60-62
[2] The Writtings of George Washington;disunting oleh Joseph Fitzpatrick,Jilid X hal.363, dalam buku Hans J.Morgenthau ,Yayasan Pustaka Obor Indonesia,hal.12-13
[3] Robert Jackson & George Sorensen,”Pengantar Studi Hubungan Internasional”, diterjemahkan oleh Dadan Suryadipura, 2009;Pustaka Pelajar,hal.88
[4] Jill Steans & Llyod Pettiford,2009,”Hubungan Internasional:Perspektif dan Tema;Pustaka Pelajar,hal52-53
[5] Thucydides,431 B.C.E,”The History of Pelopponesians War”,buku I,paragraph I, diterjemahkan oleh Richard Crawley ,diakses pada Minggu 3 April 2011,pukul 21:56 < http://classics.mit.edu/Thucydides/pelopwar.1.first.html>
[6] Thucydides,431 B.C.E,”The History of Pelopponesians War”,judul buku I-8,, diterjemahkan oleh Richard Crawley ,diakses pada Minggu 3 April 2011,pukul 21:56 < http://classics.mit.edu/Thucydides/pelopwar.html&ei>

[7] Thucydides,Buku V,paragraph 105,dalam”Politik Antarbangsa”, Hans.J Morgenthau;Yayasan Pustaka obor Indonesia,hal.43

REALISME dalam HI

REALISME
Realisme merupakan perspektif teori yang paling diakui dalam Hubungan Internasional.Dalam realisme, negara merupakan aktor yang paling berdaulat dan berkuasa. Pada masa ini, HI lebih memfokuskan pada isu peperangan dan perdamaian(war and peace).Subjek “negara” merupakan pemegang kekuasaan yang dominan “legitimate violence dominator” , yang dapat menggunakan kekerasan secara absah karena berhak mengarahkan kekuatan militer serta kehakiman ntuk menegakkan keamanan dan ketertiban. Negara juga merupakan “pemilik modal yang berdaulat” (sovereign entrepreneur) karena negara berdaulat atas wilayah tertentu termasuk berhak untuk mengelola segala macam asset kekayaan alam dan mineral yang ada diwilayah tersebut
Inti dari realisme adalah sentralitas negara. Negara-negara dan hubungan-hubungan antar negara merupakan tema yang sangat definitif dalam subjek HI. Ciri utama negara yaitu memiliki wilayah yang jelas, sebuah pemerintahan yang diberi otoritas kedaulatan ,pelaksanaan kedaulatan terhadap rakyat dan adanya pengakuan dari negara lain. Tema pertama dalam realisme adalah kedaulatan. Ada dua jenis kedaulatan yang berkaitan dengan negara: kedaulatan internal berarti penyelenggaraan otoritas di dalam sebuah wilayah tertentu dan terhadap orang-orang tertentu; sementara itu , kedaulatan eksternal meliputi pengakuan dari negara-negara lain sebagai pihak yang sah yang berhak bertindak bebas di dalam urusan-urusan internasional, yakni misalnya untuk membuat aliansi-aliansi, menyatakan perang dan sebagainya.
Tema kedua realism dalam hubungan internasional adalah kekuasaan. Kekuasaan pada dasarnya bisa dianggap sebagai konsep persaingan, yakni, sesuatu yang atasnya terdapat berbagai ketidaksepakatan mendasar. Lebih jauh, kekuasaaan bisa disama artikan dengan kata otoritas, pengaruh dan paksaan. Realisme banyak berbicara mengenai konsep kekuasaan dalam hubungan internasional. Bagi realism, esensi kekuasaan adalah kemampuan untuk mengubah tingkah laku/untuk mendominasi. Beberapa kaum realis memaknai kekuasaan dalam istilah zero-zum, yaitu situasi yang di dalamnya kemenangan yang diperoleh pihak tertentu merupakan kekalahan bagi pihak lain.
Penganut realisme melihat kapabilitas militer sebagai esensi kekuasaan dengan alasan-alasan yang sangat jelas. Kapabilitas untuk bertindak secara militer memberikan negara-negara kemampuan untuk menangkal serangan terhadap mereka, dengan semikian, menjamin keamanan mereka. Kemampuan semacam ini juga memungkinkan mereka untuk melancarkan serangan terhadap pihak-pihak lain untuk tujuan-tujuan tertentu. Kekuasaan merupakan tujuan dalam dirinya sendiri (end in itself) maupun sebagai alat untuk mencapai tujuan (means to an end), akan  menahan serangan dari pihak luar atau memberikan kemampuan mengakuisisi wilayah di luar negeri.[1]

Realisme menganggap,bahwa konsep utamanya tentang kepentingan yang ditegaskan sebagai kekuasaan merupakan kategori objektif yang berlaku secara universal, tetapi tidak member sifat pada konsep itu dengan arti yang sudah ditentukan secara definitif . Pernyataan mengenai kepentingan dimuat oleh George Washington di dalam prinsip umum pemerintahan:
Pengetahuan yang tidak banyak tentang hakikat manusia akan meyakinkan kita, bahwa pada bagian yang jauh lebih besar dari kemanusiaan , kepentingan merupakan dasar yang menentukan , dan bahwa, ssetiap orang kurang lebih di bawah pengaruhnya. Motof-motof baik masyarakat untuk sementara atau dalam keadaan tertentu , dapat menekan individu untuk mematuhi tindakan yang semata-mata tanpa pamrih; akan tetapi mereka sendiri tidak cukup menghasilkan keselarasan yang dapat bertahan terhadap ketentuan dan kewajiban tugas sosial yang murni. Tidak banyak individu yang terus menerus mampu mengorbankan semua pandangan, dan kepentingan atau keuntungan pribadi , demi kebaikan bersama.Sia-sia untuk mengadakan seruan terhadap keburukan hakikat manusia demi kepentingan ini; demikianlah kenyataannya, pengalaman setiap zaman dan bangsa sudah membuktikannya dan kita, sebagian besar, harus melakukan perubahan pada keadaan jasmani manusia, sebelum kita dapat melakukan sebaliknya. Tidak ada lembaga yang dapat berhasil, kalau tidak dibangun atas kebenaran yang berdasarkan perkiraan dari kaidah-kaidah tersebut.[2]

Ide dan asumsi dasar kaum realis adalah:
1.Pandangan pesimis atas sifat manusia
2.Keyakinan bahwa hubungan internasional pada dasarnya konfliktual dan bahwa konflik   internasional pada akhirnya diselesaikan melalui perang
3.Menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara.
4. Skeptisisme dasar bahwa terdapat kemajuan dalam politik internasional seperti yang terjadi dalam kehidupan politik domestik[3]
Point-point penting perspektif realis adalah:
1.Negara berdaulat merupakan actor kunci  dalam hubungan internasional
2. Negara-negara dimotivasi oleh sebuah dorongan untuk kekuasaan serta mengejar ‘kepentingan nasional’
3.Masalah utama dalam hubungan internasional adalah kondisi anarki yang berarti tiadanya sebuah otoritas kedaulatan pusat untuk mengatur berbagai hubungan diantara negara-negara.
4.Niat agresif dari berbagai negara , ditambah dengan tidak adanya pemerintah dunia , yang berarti bahwa konflik merupakan realitas yang selalu ada dalam hubungan internasional.
5.Sebuah persamaan mengenai tatanan dan keamanan bisa dipelihara dengan membentuk aliansi-aliansi antar negara yang mencegah satu negara manapun untuk menjadi adikuasa dan , sehingga menjadi ancaman bagi perdamaian dan keamanan bagi negara-negara lainnya;
6.Institusi- institusi dan hukum internasional memainkan peran penting dalam hubungan internasional, tetapi hanya bisa efektif jika didukung oleh kekuatan atau sanksi efektif.[4]
Aktor-aktor Realisme antara lain ialah Thucydides, Machiavelli, Morgenthau, Rousseau, Waltz, Mearsheimer, Zakaria, Von Clausewitz,dan lain-lain.


Sejarah Singkat dan Akar Realisme menurut Thucydides

Arahan dan asumsi-asumsi dasar tradisi pemikiran realis sedikitnya datang dari beberapa tulisan Thucydides, terutama Peloponnesians War, yakni peperangan antara negara-negara Kota Yunani ,yaitu Athena dan Sparta. Thucydides menggunakan perang untuk menunjukkan bagaimana logika politik kekuasaan (pengejaran atas kekuasaan dan kepentingan nasional) lebih menandai hubungan dan konflik antar negara daripada kerjasama atau tindakan yang diarahkan oleh prinsip-prinsip yang lebih bermoral.
Thucydides, an Athenian, wrote the history of the war between the Peloponnesians and the Athenians, beginning at the moment that it broke out, and believing that it would be a great war and more worthy of relation than any that had preceded it. This belief was not without its grounds. The preparations of both the combatants were in every department in the last state of perfection; and he could see the rest of the Hellenic race taking sides in the quarrel; those who delayed doing so at once having it in contemplation. Indeed this was the greatest movement yet known in history, not only of the Hellenes, but of a large part of the barbarian world- I had almost said of mankind. For though the events of remote antiquity, and even those that more immediately preceded the war, could not from lapse of time be clearly ascertained, yet the evidences which an inquiry carried as far back as was practicable leads me to trust, all point to the conclusion that there was nothing on a great scale, either in war or in other matters.[5]
Dalam bukunya “The History of Pelopponesians War”,Thucydides menjelaskan bagaimana asal mula terjadinya perang antara Athena dan Sparta. Negara-negara kota yang berada dalam wilayah Athena dan Sparta melakukan peperangan, dimulai dari saling membunuh terhadap penguasa kota-kota di Peloponesse. Penyebab Perang ,”The Affair of Epidamnus - The Affair of Potidaea”. Dalam bukunya, Thucydides membuat kisah perang dari tahun pertama, yaitu:
1.Awal Perang Peloponnesia - Invasi Pertama Attica - Orasi Pemakaman dari Pericles.
2 Perang Tahun kedua - The Athena - Posisi dan kebijakan Pericles - Kejatuhan Potidaea.
 3. Perang tahun keempat dan kelima- Pemberontakan dari Mitylene. - Trial dan Pelaksanaan Plataeans - Revolusi Corcyraean
4. Perang tahun ketujuh - Pekerjaan Pylos - Tentara Spartan menyerah di Sphacteria
5.Tahun ketujuh dan kedelapan dari Perang - Akhir dari Revolusi Corcyraean - Perdamaian dari Gela - Penangkapan Nisaea
6. Perang tahun kesepuluh - Kematian Cleon dan Brasidas - Perdamaian Nicias
7. Perang tahun ketujuhbelas - Kampanye Sisilia-Urusan Hermae - Ekspedisi keberangkatan
8. Perang tahun ketujuhbelas - Pihak di Syracuse - Cerita Harmodius dan Aristogiton - Disgrace of Alcibiades dari Harmodius dan Aristogiton - aib dari Alcibiades
9. Perang tahun kedelapanbelas dan Sembilanbelas  - Kedatangan dari Gylippus di Syracuse - Fortifikasi Decelea - Keberhasilan dari Syracusans
10. Perang tahun kesembilanbelas- Kedatangan Demosthenes- Kekalahan dari Atena di Epipolae - Folly dan Obstinancy dari Nicias Nicias
11. Perang tahun kesembilanbelas dan duapuluh- Pemberontakan dari Ionia - Intervensi of Persia - Perang di Ionia
12. Perang tahun keduapuluh- intrik dari  Alcibiades - Penarikan Subsidi Persia  - Coup oligarki d'Etat di Athena - Patriotisme Angkatan Darat di Samos Samos[6]
Negara mana yang ingin ditindas oleh kekuasaan asing? Atau siapa yang ingin miliknya dirampok dengan tidak adil? Namun, apakah ada satu negara saja yang tidak menindas negara tetangganya?,Atau , dimana di dunia ini akan dijumpai orang yang tidak merampok milik orang lain? Di mana sebenarnya?*[7]

Thucydides menjelaskan bahwa pada awalnya, memang negara telah mengalami perang, sebelum adanya PD I dan PD II, telah ada negara-negara yang melakukan perang sebelumnya, karena adanya ‘kepentingan nasional’ yang menuntut negara melakukan apa saja untuk mendapatnkan apa yang diinginkan.



[1] Jill Steans & Llyod Pettiford,2009,”Hubungan Internasional:Perspektif dan Tema;Pustaka Pelajar,hal.60-62
[2] The Writtings of George Washington;disunting oleh Joseph Fitzpatrick,Jilid X hal.363, dalam buku Hans J.Morgenthau ,Yayasan Pustaka Obor Indonesia,hal.12-13
[3] Robert Jackson & George Sorensen,”Pengantar Studi Hubungan Internasional”, diterjemahkan oleh Dadan Suryadipura, 2009;Pustaka Pelajar,hal.88
[4] Jill Steans & Llyod Pettiford,2009,”Hubungan Internasional:Perspektif dan Tema;Pustaka Pelajar,hal52-53
[5] Thucydides,431 B.C.E,”The History of Pelopponesians War”,buku I,paragraph I, diterjemahkan oleh Richard Crawley ,diakses pada Minggu 3 April 2011,pukul 21:56 < http://classics.mit.edu/Thucydides/pelopwar.1.first.html>
[6] Thucydides,431 B.C.E,”The History of Pelopponesians War”,judul buku I-8,, diterjemahkan oleh Richard Crawley ,diakses pada Minggu 3 April 2011,pukul 21:56 < http://classics.mit.edu/Thucydides/pelopwar.html&ei>

[7] Thucydides,Buku V,paragraph 105,dalam”Politik Antarbangsa”, Hans.J Morgenthau;Yayasan Pustaka obor Indonesia,hal.43