Nama
: Floranesia Lantang (170210100007)
Program Penyelenggaraan Otonomi
Daerah sebagai Penanggulangan Bencana
Konflik Sosial di Papua
Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang mempunyai sejarah sosial berupa
dinamika aspek kehidupan masyarakat aslinya. Konsep “desentralisasi” merupakan
agenda publik yang dijadikan sebagai landasan konstektual dalam penyelenggaraan
pemerintahan menggantikan politik sentralisasi.
Dalam Perdasus Penyelenggaraan Peradilan Adat di Papua , diungkapkan
bahwa pemberian otonomi khusus bagi Provinsi Papua dimaksudkan untuk mewujudkan
keadilan,penegakan supremasi hukum,
penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) , percepatan pembangunan ekonomi,
peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua, dalam rangka
kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan Provinsi lain.
Analisis konflik ini berfokus pada dinamika konflik
dan masalah-masalah yang terjadi pada periode paska Otsus (Otonomi khusus)
sesudah tahun 2001, di Papua. Kekayaan sosial, budaya dan sumber alam di Papua
bertolak belakang dengan tingkat keamanan manusia. Papua telah sejak lama
memiliki keluhan-keluhan sejak berintegrasinya dengan Negara Indonesia mulai
dari perbedaan persepsi mengenai sejarah integrasi ke dalam Negara Indonesia,
keterbelakangan yang terus terjadi dan kompleksitas rasa rendah diri yang
diwarnai dengan pelanggaran hak asasi manusia yang merusak harkat martabat
orang asli Papua. Kelahiran otsus pada tahun 2001 adalah sebuah titik balik di
mana keluhan-keluhan penduduk asli Papua mulai dibuka dan diperhatikan. Otsus
diharapkan untuk dapat memberikan tindakan yang pasti untuk melindungi hak-hak
penduduk asli Papua dan melibatkan mereka secara aktif baik sebagai penerima
manfaat dan pelaku pada perubahan sosial di Papua. Meskipun demikian,
pelaksanaan otsus telah menghadapi pelbagai tantangan termasuk kurangnyan
kepercayaan yang diperlihatkan oleh pemerintah pusat.
Periode
paska otsus masih diwarnai dengan adanya keluhan-keluhan; perdamaian negatif,
masalah-masalah yang berhubungan dengan perwakilan, kebijakankebijakan yang
tidak sesuai dengan kebudayaan lokal, penggalian sumber daya alam yang tidak
seimbang, pendekatan keamanan, rendahnya tingkat modal sosial, masyarakat
anomie dalam perubahan sosial, polarisasi yang dapat memicu konflik, dan
kesenjangan antar kelompok masyarakat.
Undang-undang
Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua ,yang disahkan
pada tanggal 21 November 2001 serta dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
tahun 2001 Nomor 135 dan Tambahan Lembaran Negara tahun 2001 Nomor 4151 , patut
dicatat sebagai suatu karya monumental hasil kemitraan Pusat dan Daerah.
Beberapa keistimewaan yang dimiliki oleh Undang-undang Otsus ini ialah
rancangan awal undang-undang tentang otonomi ini disusun oleh putra-putra
terbaik Papua dalam berkonstribusi mengatur dan membangun daerahnya dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Muatan rancangan undang-undang otonomi dipandang mampu
mengakomodasi berbagai aspirasi dan kepentingan masyarakat,khususnya orang asli
Papua. Otonomi khusus bagi Provinsi Papua dapat berperan sebagai suatu
kebijakan yang bernilai strategis dalam rangka peningkatan pelayanan (service), dan akselerasi pembangunan (development), serta pemberdayaan (empowerment) seluruh rakyat di Provinsi
Papua terutama orang asli Papua.
Dalam studi tentang penyelesaian konflik
disebut bahwa kebijakan pemberian otonomi kadang menjadi pedang bermata dua. Di
satu sisi, otonomi dimaksudkan upaya untuk melakukan desentralisasi kekuasaan,
mekanisme kompromi politik, secara administratif bertujuan untuk mendekatkan
pelayanan kepada masyarakat, dan juga sebagai mekanisme untuk menjaga
integritas territorial sebuah negara. Namun, di sisi lain, otonomi juga
berpotensi memperkuat identitas kelompok minoritas dan ini mendorong kelompok
minoritas ini meningkatkan tuntutan mereka ke level yang lebih otonom atau
bahkan ke level kemerdekaan. Menurut
studi Svante E Cornell (2002), otonomi bisa memperbesar konflik di sebuah kawasan
dengan sejumlah cara. Dia mengulas, “There
are two ways in which the institution of autonomous regions could be conceived
of as conducive to secessionism: first of all by institutionalizing and
promoting the separate identity of its titular group, thereby increasing group
cohesion and the incentives of the group to act; and secondly by its political
institutions that increase the capacity of the group to act." (Svante E
Cornell (2002:15-16).
Pembentukan suatu pemerintahan merupakan
cita-cita Nasional untuk mencapai suatu tatanan keteraturan dan ketertiban bagi
berlangsungnya kehidupan masyarakat. Pemerintah merupakan wakil rakyat yang
harus berpihak pada rakyat .Osborne
& Gaebler (1996:283) mengintrodusir bahwa ,Pemerintah perlu semakin
didekatkan dengan masyarakat sehingga dapat member respon cepat terhadap
kebutuhan masyarakat yang dinamis. Konsepsi ini didasari pada asumsi bahwa
Pemerintah yang berada dalam jangkauan masyarakat, maka pelayanan yang
diberikan menjadi cepat, responsive,akomodatif, inovatif, produktif, dan
ekonomis.
Konflik sosial yang terjadi di Papua jika diteliti pada
aspek psikologis, orang Papua lebih banyak dipengaruhi emosi daripada pikiran
yang kritis dan sehat dalam menghadapi suatu permasalahan, sehingga tak
segan-segan untuk melakukan tindakan anarkis dan separatis. Dalam aspek sosial, ketika mereka memberontak
maka mereka akan mendapat dukungan dan pengaruh dari sukunya serta dalam suasana
yang genting pada kepala suku itu harus berada ditengah-tengah sukunya itu. Aspek
ekonomi dalam lingkungan sosial, yaitu lambatnya penyaluran barang ke Papua
sehingga kesejahteraan warga Papua pun tak berjalan (1964-1966), padahal hal
seperti ini tidak pernah terjadi selama Belanda menguasai Papua. Rasa tak
memiliki Negara seutuhnya, ditambah lagi ketika terjadi pembunuhan warga Papua
oleh TNI , merupakan kekecewaan Papua terhadap NKRI.
Suatu konsep elit politik yang terjadi di pemerintahan pusat
menyebabkan rasa kurang percaya rakyat Papua atas keberadaannya di Indonesia.
Konflik-konflik sosial memiliki kuantitas yang besar sebelum diberlakukannya
otonomi daerah. Dengan diberlakukannya
otonomi daerah di Papua, maka akan terjadi kemajuan-kemajuan dalam berbagai
bidang sehingga konflik sosial akan berkurang. Aktualisasi otonomi daerah member
makna dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakat, yaitu :
1.Dimensi
Politik
Otonomi dalam
tinjauan dimensi politik bertujuan untuk meningkatkan partisipasi politik
masyarakat. Melalui otonomi ,maka masyarakat berkesempatan untuk menyalurkan
inspirasi dan aspirasinya, serta terlibat dalam mendukung kebijaksaan
pemerintah , dalam konteks lokal (Daerah), maupun nasional, sebagai bagian dari
proses demokratisasi.
2.
Dimensi Manajemen Pemerintahan
Dalam tinjauan dimensi manajemen pemerintahan, aktualisasi
ekonomi bertujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan
pemerintahan. Melalui otonomi, diharapkan pemerintah mampu melaksanakan fungsi
pelayanan, pemberdayaan, dan pembangunan secara efektif dan efisien, dalam
rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
3.Dimensi
Kemasyarakatan
Ditinjau dari dimensi kemasyarakatan, maka otonomi bertujuan
sebagai sarana partisipasi masyarakat serta menimbulkan kemandirian. Melalui
otonomi, upaya pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan,sehingga masyarakat
memiliki kemampuan untuk mandiri, dan memiliki daya saing.
4.Dimensi
Ekonomi
Ditinjau dari dimensi ekonomi,
otonomi bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Melalui otonomi
masyarakat dan Pemerintah Daerah akan memiliki peluang yang besar untuk
melakukan ekstensifikasi, intensifikasi, dan diversifikasi sumber-sumber
ekonomi dalam rangka peningkatan pendapatan.
5.Dimensi
Budaya
Ditinjau dari dimensi budaya,
otonomi bertujuan untuk memberikan peluang yang besar bagi berkembangnya nilai
budaya daerah. Melalui otonomi maka daerah dapat secara leluasa mengembangkan
adat budaya daerahnya, yang diapresiasikan melalui berbagai hal, seperti :
struktur pemerintahan terendah (Desa), model perencanaan pembangunan, dan
sebagainya.
Meskipun demikian, penyelenggaraan otonomi masih harus
ditata secara baik, check and balances in
local self government merupakan kunci keberhasilan suatu desentralisasi
kewenangan dalam otonomi. Sesuai dengan Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999, dan
tertuang dalam UU No.21 Tahun 2001, maka pemberlakuan otonomi akan membantu
perkembangan Provinsi Papua serta mencegah konflik-konflik sosial yang pernah
terjadi sebelumnya.