Senin, 12 September 2011

Program Penyelenggaraan Otonomi Daerah sebagai Penanggulangan Bencana Konflik Sosial di Papua


Nama : Floranesia Lantang (170210100007)
Program Penyelenggaraan Otonomi Daerah sebagai Penanggulangan Bencana  Konflik Sosial di Papua
Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang mempunyai sejarah sosial berupa dinamika aspek kehidupan masyarakat aslinya. Konsep “desentralisasi” merupakan agenda publik yang dijadikan sebagai landasan konstektual dalam penyelenggaraan pemerintahan menggantikan politik sentralisasi.  Dalam Perdasus Penyelenggaraan Peradilan Adat di Papua , diungkapkan bahwa pemberian otonomi khusus bagi Provinsi Papua dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan,penegakan  supremasi hukum, penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) , percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua, dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan Provinsi lain.

Analisis konflik ini berfokus pada dinamika konflik dan masalah-masalah yang terjadi pada periode paska Otsus (Otonomi khusus) sesudah tahun 2001, di Papua. Kekayaan sosial, budaya dan sumber alam di Papua bertolak belakang dengan tingkat keamanan manusia. Papua telah sejak lama memiliki keluhan-keluhan sejak berintegrasinya dengan Negara Indonesia mulai dari perbedaan persepsi mengenai sejarah integrasi ke dalam Negara Indonesia, keterbelakangan yang terus terjadi dan kompleksitas rasa rendah diri yang diwarnai dengan pelanggaran hak asasi manusia yang merusak harkat martabat orang asli Papua. Kelahiran otsus pada tahun 2001 adalah sebuah titik balik di mana keluhan-keluhan penduduk asli Papua mulai dibuka dan diperhatikan. Otsus diharapkan untuk dapat memberikan tindakan yang pasti untuk melindungi hak-hak penduduk asli Papua dan melibatkan mereka secara aktif baik sebagai penerima manfaat dan pelaku pada perubahan sosial di Papua. Meskipun demikian, pelaksanaan otsus telah menghadapi pelbagai tantangan termasuk kurangnyan kepercayaan yang diperlihatkan oleh pemerintah pusat.
Periode paska otsus masih diwarnai dengan adanya keluhan-keluhan; perdamaian negatif, masalah-masalah yang berhubungan dengan perwakilan, kebijakankebijakan yang tidak sesuai dengan kebudayaan lokal, penggalian sumber daya alam yang tidak seimbang, pendekatan keamanan, rendahnya tingkat modal sosial, masyarakat anomie dalam perubahan sosial, polarisasi yang dapat memicu konflik, dan kesenjangan antar kelompok masyarakat.

Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua ,yang disahkan pada tanggal 21 November 2001 serta dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2001 Nomor 135 dan Tambahan Lembaran Negara tahun 2001 Nomor 4151 , patut dicatat sebagai suatu karya monumental hasil kemitraan Pusat dan Daerah. Beberapa keistimewaan yang dimiliki oleh Undang-undang Otsus ini ialah rancangan awal undang-undang tentang otonomi ini disusun oleh putra-putra terbaik Papua dalam berkonstribusi mengatur dan membangun  daerahnya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Muatan rancangan undang-undang otonomi dipandang mampu mengakomodasi berbagai aspirasi dan kepentingan masyarakat,khususnya orang asli Papua. Otonomi khusus bagi Provinsi Papua dapat berperan sebagai suatu kebijakan yang bernilai strategis dalam rangka peningkatan pelayanan (service), dan akselerasi pembangunan (development), serta pemberdayaan (empowerment) seluruh rakyat di Provinsi Papua terutama orang asli Papua[1].
Dalam studi tentang penyelesaian konflik disebut bahwa kebijakan pemberian otonomi kadang menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, otonomi dimaksudkan upaya untuk melakukan desentralisasi kekuasaan, mekanisme kompromi politik, secara administratif bertujuan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, dan juga sebagai mekanisme untuk menjaga integritas territorial sebuah negara. Namun, di sisi lain, otonomi juga berpotensi memperkuat identitas kelompok minoritas dan ini mendorong kelompok minoritas ini meningkatkan tuntutan mereka ke level yang lebih otonom atau bahkan ke level kemerdekaan.  Menurut studi Svante E Cornell (2002), otonomi bisa memperbesar konflik di sebuah kawasan dengan sejumlah cara. Dia mengulas, “There are two ways in which the institution of autonomous regions could be conceived of as conducive to secessionism: first of all by institutionalizing and promoting the separate identity of its titular group, thereby increasing group cohesion and the incentives of the group to act; and secondly by its political institutions that increase the capacity of the group to act." (Svante E Cornell (2002:15-16). [2]
Pembentukan suatu pemerintahan merupakan cita-cita Nasional untuk mencapai suatu tatanan keteraturan dan ketertiban bagi berlangsungnya kehidupan masyarakat. Pemerintah merupakan wakil rakyat yang harus berpihak pada rakyat .Osborne & Gaebler (1996:283) mengintrodusir bahwa ,Pemerintah perlu semakin didekatkan dengan masyarakat sehingga dapat member respon cepat terhadap kebutuhan masyarakat yang dinamis. Konsepsi ini didasari pada asumsi bahwa Pemerintah yang berada dalam jangkauan masyarakat, maka pelayanan yang diberikan menjadi cepat, responsive,akomodatif, inovatif, produktif, dan ekonomis.
Konflik sosial yang terjadi di Papua jika diteliti pada aspek psikologis, orang Papua lebih banyak dipengaruhi emosi daripada pikiran yang kritis dan sehat dalam menghadapi suatu permasalahan, sehingga tak segan-segan untuk melakukan tindakan anarkis dan separatis. Dalam aspek sosial, ketika mereka memberontak maka mereka akan mendapat dukungan dan pengaruh dari sukunya serta dalam suasana yang genting pada kepala suku itu harus berada ditengah-tengah sukunya itu. Aspek ekonomi dalam lingkungan sosial, yaitu lambatnya penyaluran barang ke Papua sehingga kesejahteraan warga Papua pun tak berjalan (1964-1966), padahal hal seperti ini tidak pernah terjadi selama Belanda menguasai Papua. Rasa tak memiliki Negara seutuhnya, ditambah lagi ketika terjadi pembunuhan warga Papua oleh TNI , merupakan kekecewaan Papua terhadap NKRI.
Suatu konsep elit politik yang terjadi di pemerintahan pusat menyebabkan rasa kurang percaya rakyat Papua atas keberadaannya di Indonesia. Konflik-konflik sosial memiliki kuantitas yang besar sebelum diberlakukannya otonomi daerah.  Dengan diberlakukannya otonomi daerah di Papua, maka akan terjadi kemajuan-kemajuan dalam berbagai bidang sehingga konflik sosial akan berkurang. Aktualisasi otonomi daerah member makna dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakat, yaitu :

1.Dimensi Politik
 Otonomi dalam tinjauan dimensi politik bertujuan untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat. Melalui otonomi ,maka masyarakat berkesempatan untuk menyalurkan inspirasi dan aspirasinya, serta terlibat dalam mendukung kebijaksaan pemerintah , dalam konteks lokal (Daerah), maupun nasional, sebagai bagian dari proses demokratisasi.

2. Dimensi Manajemen Pemerintahan
Dalam tinjauan dimensi manajemen pemerintahan, aktualisasi ekonomi bertujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan. Melalui otonomi, diharapkan pemerintah mampu melaksanakan fungsi pelayanan, pemberdayaan, dan pembangunan secara efektif dan efisien, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

3.Dimensi Kemasyarakatan
Ditinjau dari dimensi kemasyarakatan, maka otonomi bertujuan sebagai sarana partisipasi masyarakat serta menimbulkan kemandirian. Melalui otonomi, upaya pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan,sehingga masyarakat memiliki kemampuan untuk mandiri, dan memiliki daya saing.

4.Dimensi Ekonomi
            Ditinjau dari dimensi ekonomi, otonomi bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Melalui otonomi masyarakat dan Pemerintah Daerah akan memiliki peluang yang besar untuk melakukan ekstensifikasi, intensifikasi, dan diversifikasi sumber-sumber ekonomi dalam rangka peningkatan pendapatan.

5.Dimensi Budaya
            Ditinjau dari dimensi budaya, otonomi bertujuan untuk memberikan peluang yang besar bagi berkembangnya nilai budaya daerah. Melalui otonomi maka daerah dapat secara leluasa mengembangkan adat budaya daerahnya, yang diapresiasikan melalui berbagai hal, seperti : struktur pemerintahan terendah (Desa), model perencanaan pembangunan, dan sebagainya.[3]

Meskipun demikian, penyelenggaraan otonomi masih harus ditata secara baik, check and balances in local self government merupakan kunci keberhasilan suatu desentralisasi kewenangan dalam otonomi. Sesuai dengan Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999, dan tertuang dalam UU No.21 Tahun 2001, maka pemberlakuan otonomi akan membantu perkembangan Provinsi Papua serta mencegah konflik-konflik sosial yang pernah terjadi sebelumnya.


[1] Abud Musa’ad,Mohammad,2004,”Menguak Tabir Otonomi khusus Papua”,Bandung:ITB,hal.vii
[2] Ali, Rizwan 2010, “Otonomi dan Potensi Referendum di Papua”,diakses pada hari Selasa 16 Agustus 2011,pukul 15:03 ,( http://sampari.blogspot.com/2010/06/otonomi-dan-potensi-referendum-di-papua.html)
[3] Abud Musa’ad,Mohammad,2005 ,” Penguatan Otonomi Daerah :Dibalik Bayang-Bayang Ancaman Disintegrasi”,Jayapura:Penerbit Pusat Kajian Demokrasi.hal. 35-37

Tidak ada komentar:

Posting Komentar