Selasa, 06 September 2011

REALISME dalam HI


REALISME
Realisme merupakan perspektif teori yang paling diakui dalam Hubungan Internasional.Dalam realisme, negara merupakan aktor yang paling berdaulat dan berkuasa. Pada masa ini, HI lebih memfokuskan pada isu peperangan dan perdamaian(war and peace).Subjek “negara” merupakan pemegang kekuasaan yang dominan “legitimate violence dominator” , yang dapat menggunakan kekerasan secara absah karena berhak mengarahkan kekuatan militer serta kehakiman ntuk menegakkan keamanan dan ketertiban. Negara juga merupakan “pemilik modal yang berdaulat” (sovereign entrepreneur) karena negara berdaulat atas wilayah tertentu termasuk berhak untuk mengelola segala macam asset kekayaan alam dan mineral yang ada diwilayah tersebut
Inti dari realisme adalah sentralitas negara. Negara-negara dan hubungan-hubungan antar negara merupakan tema yang sangat definitif dalam subjek HI. Ciri utama negara yaitu memiliki wilayah yang jelas, sebuah pemerintahan yang diberi otoritas kedaulatan ,pelaksanaan kedaulatan terhadap rakyat dan adanya pengakuan dari negara lain. Tema pertama dalam realisme adalah kedaulatan. Ada dua jenis kedaulatan yang berkaitan dengan negara: kedaulatan internal berarti penyelenggaraan otoritas di dalam sebuah wilayah tertentu dan terhadap orang-orang tertentu; sementara itu , kedaulatan eksternal meliputi pengakuan dari negara-negara lain sebagai pihak yang sah yang berhak bertindak bebas di dalam urusan-urusan internasional, yakni misalnya untuk membuat aliansi-aliansi, menyatakan perang dan sebagainya.
Tema kedua realism dalam hubungan internasional adalah kekuasaan. Kekuasaan pada dasarnya bisa dianggap sebagai konsep persaingan, yakni, sesuatu yang atasnya terdapat berbagai ketidaksepakatan mendasar. Lebih jauh, kekuasaaan bisa disama artikan dengan kata otoritas, pengaruh dan paksaan. Realisme banyak berbicara mengenai konsep kekuasaan dalam hubungan internasional. Bagi realism, esensi kekuasaan adalah kemampuan untuk mengubah tingkah laku/untuk mendominasi. Beberapa kaum realis memaknai kekuasaan dalam istilah zero-zum, yaitu situasi yang di dalamnya kemenangan yang diperoleh pihak tertentu merupakan kekalahan bagi pihak lain.
Penganut realisme melihat kapabilitas militer sebagai esensi kekuasaan dengan alasan-alasan yang sangat jelas. Kapabilitas untuk bertindak secara militer memberikan negara-negara kemampuan untuk menangkal serangan terhadap mereka, dengan semikian, menjamin keamanan mereka. Kemampuan semacam ini juga memungkinkan mereka untuk melancarkan serangan terhadap pihak-pihak lain untuk tujuan-tujuan tertentu. Kekuasaan merupakan tujuan dalam dirinya sendiri (end in itself) maupun sebagai alat untuk mencapai tujuan (means to an end), akan  menahan serangan dari pihak luar atau memberikan kemampuan mengakuisisi wilayah di luar negeri.[1]

Realisme menganggap,bahwa konsep utamanya tentang kepentingan yang ditegaskan sebagai kekuasaan merupakan kategori objektif yang berlaku secara universal, tetapi tidak member sifat pada konsep itu dengan arti yang sudah ditentukan secara definitif . Pernyataan mengenai kepentingan dimuat oleh George Washington di dalam prinsip umum pemerintahan:
Pengetahuan yang tidak banyak tentang hakikat manusia akan meyakinkan kita, bahwa pada bagian yang jauh lebih besar dari kemanusiaan , kepentingan merupakan dasar yang menentukan , dan bahwa, ssetiap orang kurang lebih di bawah pengaruhnya. Motof-motof baik masyarakat untuk sementara atau dalam keadaan tertentu , dapat menekan individu untuk mematuhi tindakan yang semata-mata tanpa pamrih; akan tetapi mereka sendiri tidak cukup menghasilkan keselarasan yang dapat bertahan terhadap ketentuan dan kewajiban tugas sosial yang murni. Tidak banyak individu yang terus menerus mampu mengorbankan semua pandangan, dan kepentingan atau keuntungan pribadi , demi kebaikan bersama.Sia-sia untuk mengadakan seruan terhadap keburukan hakikat manusia demi kepentingan ini; demikianlah kenyataannya, pengalaman setiap zaman dan bangsa sudah membuktikannya dan kita, sebagian besar, harus melakukan perubahan pada keadaan jasmani manusia, sebelum kita dapat melakukan sebaliknya. Tidak ada lembaga yang dapat berhasil, kalau tidak dibangun atas kebenaran yang berdasarkan perkiraan dari kaidah-kaidah tersebut.[2]

Ide dan asumsi dasar kaum realis adalah:
1.Pandangan pesimis atas sifat manusia
2.Keyakinan bahwa hubungan internasional pada dasarnya konfliktual dan bahwa konflik   internasional pada akhirnya diselesaikan melalui perang
3.Menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara.
4. Skeptisisme dasar bahwa terdapat kemajuan dalam politik internasional seperti yang terjadi dalam kehidupan politik domestik[3]
Point-point penting perspektif realis adalah:
1.Negara berdaulat merupakan actor kunci  dalam hubungan internasional
2. Negara-negara dimotivasi oleh sebuah dorongan untuk kekuasaan serta mengejar ‘kepentingan nasional’
3.Masalah utama dalam hubungan internasional adalah kondisi anarki yang berarti tiadanya sebuah otoritas kedaulatan pusat untuk mengatur berbagai hubungan diantara negara-negara.
4.Niat agresif dari berbagai negara , ditambah dengan tidak adanya pemerintah dunia , yang berarti bahwa konflik merupakan realitas yang selalu ada dalam hubungan internasional.
5.Sebuah persamaan mengenai tatanan dan keamanan bisa dipelihara dengan membentuk aliansi-aliansi antar negara yang mencegah satu negara manapun untuk menjadi adikuasa dan , sehingga menjadi ancaman bagi perdamaian dan keamanan bagi negara-negara lainnya;
6.Institusi- institusi dan hukum internasional memainkan peran penting dalam hubungan internasional, tetapi hanya bisa efektif jika didukung oleh kekuatan atau sanksi efektif.[4]
Aktor-aktor Realisme antara lain ialah Thucydides, Machiavelli, Morgenthau, Rousseau, Waltz, Mearsheimer, Zakaria, Von Clausewitz,dan lain-lain.


Sejarah Singkat dan Akar Realisme menurut Thucydides

Arahan dan asumsi-asumsi dasar tradisi pemikiran realis sedikitnya datang dari beberapa tulisan Thucydides, terutama Peloponnesians War, yakni peperangan antara negara-negara Kota Yunani ,yaitu Athena dan Sparta. Thucydides menggunakan perang untuk menunjukkan bagaimana logika politik kekuasaan (pengejaran atas kekuasaan dan kepentingan nasional) lebih menandai hubungan dan konflik antar negara daripada kerjasama atau tindakan yang diarahkan oleh prinsip-prinsip yang lebih bermoral.
Thucydides, an Athenian, wrote the history of the war between the Peloponnesians and the Athenians, beginning at the moment that it broke out, and believing that it would be a great war and more worthy of relation than any that had preceded it. This belief was not without its grounds. The preparations of both the combatants were in every department in the last state of perfection; and he could see the rest of the Hellenic race taking sides in the quarrel; those who delayed doing so at once having it in contemplation. Indeed this was the greatest movement yet known in history, not only of the Hellenes, but of a large part of the barbarian world- I had almost said of mankind. For though the events of remote antiquity, and even those that more immediately preceded the war, could not from lapse of time be clearly ascertained, yet the evidences which an inquiry carried as far back as was practicable leads me to trust, all point to the conclusion that there was nothing on a great scale, either in war or in other matters.[5]
Dalam bukunya “The History of Pelopponesians War”,Thucydides menjelaskan bagaimana asal mula terjadinya perang antara Athena dan Sparta. Negara-negara kota yang berada dalam wilayah Athena dan Sparta melakukan peperangan, dimulai dari saling membunuh terhadap penguasa kota-kota di Peloponesse. Penyebab Perang ,”The Affair of Epidamnus - The Affair of Potidaea”. Dalam bukunya, Thucydides membuat kisah perang dari tahun pertama, yaitu:
1.Awal Perang Peloponnesia - Invasi Pertama Attica - Orasi Pemakaman dari Pericles.
2 Perang Tahun kedua - The Athena - Posisi dan kebijakan Pericles - Kejatuhan Potidaea.
 3. Perang tahun keempat dan kelima- Pemberontakan dari Mitylene. - Trial dan Pelaksanaan Plataeans - Revolusi Corcyraean
4. Perang tahun ketujuh - Pekerjaan Pylos - Tentara Spartan menyerah di Sphacteria
5.Tahun ketujuh dan kedelapan dari Perang - Akhir dari Revolusi Corcyraean - Perdamaian dari Gela - Penangkapan Nisaea
6. Perang tahun kesepuluh - Kematian Cleon dan Brasidas - Perdamaian Nicias
7. Perang tahun ketujuhbelas - Kampanye Sisilia-Urusan Hermae - Ekspedisi keberangkatan
8. Perang tahun ketujuhbelas - Pihak di Syracuse - Cerita Harmodius dan Aristogiton - Disgrace of Alcibiades dari Harmodius dan Aristogiton - aib dari Alcibiades
9. Perang tahun kedelapanbelas dan Sembilanbelas  - Kedatangan dari Gylippus di Syracuse - Fortifikasi Decelea - Keberhasilan dari Syracusans
10. Perang tahun kesembilanbelas- Kedatangan Demosthenes- Kekalahan dari Atena di Epipolae - Folly dan Obstinancy dari Nicias Nicias
11. Perang tahun kesembilanbelas dan duapuluh- Pemberontakan dari Ionia - Intervensi of Persia - Perang di Ionia
12. Perang tahun keduapuluh- intrik dari  Alcibiades - Penarikan Subsidi Persia  - Coup oligarki d'Etat di Athena - Patriotisme Angkatan Darat di Samos Samos[6]
Negara mana yang ingin ditindas oleh kekuasaan asing? Atau siapa yang ingin miliknya dirampok dengan tidak adil? Namun, apakah ada satu negara saja yang tidak menindas negara tetangganya?,Atau , dimana di dunia ini akan dijumpai orang yang tidak merampok milik orang lain? Di mana sebenarnya?*[7]

Thucydides menjelaskan bahwa pada awalnya, memang negara telah mengalami perang, sebelum adanya PD I dan PD II, telah ada negara-negara yang melakukan perang sebelumnya, karena adanya ‘kepentingan nasional’ yang menuntut negara melakukan apa saja untuk mendapatnkan apa yang diinginkan.



[1] Jill Steans & Llyod Pettiford,2009,”Hubungan Internasional:Perspektif dan Tema;Pustaka Pelajar,hal.60-62
[2] The Writtings of George Washington;disunting oleh Joseph Fitzpatrick,Jilid X hal.363, dalam buku Hans J.Morgenthau ,Yayasan Pustaka Obor Indonesia,hal.12-13
[3] Robert Jackson & George Sorensen,”Pengantar Studi Hubungan Internasional”, diterjemahkan oleh Dadan Suryadipura, 2009;Pustaka Pelajar,hal.88
[4] Jill Steans & Llyod Pettiford,2009,”Hubungan Internasional:Perspektif dan Tema;Pustaka Pelajar,hal52-53
[5] Thucydides,431 B.C.E,”The History of Pelopponesians War”,buku I,paragraph I, diterjemahkan oleh Richard Crawley ,diakses pada Minggu 3 April 2011,pukul 21:56 < http://classics.mit.edu/Thucydides/pelopwar.1.first.html>
[6] Thucydides,431 B.C.E,”The History of Pelopponesians War”,judul buku I-8,, diterjemahkan oleh Richard Crawley ,diakses pada Minggu 3 April 2011,pukul 21:56 < http://classics.mit.edu/Thucydides/pelopwar.html&ei>

[7] Thucydides,Buku V,paragraph 105,dalam”Politik Antarbangsa”, Hans.J Morgenthau;Yayasan Pustaka obor Indonesia,hal.43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar